SEJARAH NAGARI SUNGAI GIMBA ULAKAN
Nagari Sungai Gimba Secara Etimologi
Nagari Sungai Gimba Ulakan secara definisi kata terdiri dari 3 suku kata, yaitu kata “Sungai”, “Gimba” dan kata “Ulakan”. Kata “Sungai” berarti aliran sungai yang membentang dari ujung utara sampai ujung selatan daerah Nagari Sungai Gimba. Sungai ini memiliki keunikan tersendiri seperti aliran sungai yang berliku-liku dan beberapa titik seolah-olah aliran sungai kembali lagi ke hulu. Lebih unik lagi bahwa sepanjang sejarah manusia mendiami daerah Sungai Gimba ini, tidak pernah aliran sungai ini mengering walaupun kemarau yang sangat panjang padahal debit air normal hanya mencapai rata-rata 10 cm – 20 cm, bahkan di beberapa titik mencapai 5 cm.
Kata “Gimba” berarti sebuah Mimbar atau tempat Khatib membacakan Khutbah Jumat. Berdasarkan sejarah pengembang syiar Agama Islam di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, sedangkan Gimba ini dibangun oleh Syekh Madinah yang merupakan guru Syekh Burhanuddin mengenal Syariat Islam. Syekh Madinah dan Syekh Burhanuddin serta murid lainnya pernah menunaikan Shalat Jumat berjamaah disini, dapat dikatakan Shalat Jumat ini merupakan yang pertama di Pesisir Sumatera Barat.
Sedangkan kata “Ulakan” menyatakan bahwa Nagari Sungai Gimba Ulakan merupakan bagian dari Nagari Ulakan lama sebelum terjadinya pemekaran pada Tahun 2016. Sebelum pemekaran nagari ulakan terdiri dari 19 korong dan terbagi kedalam Nagari baru pemekaran, seperti uraian berikut :
NO | Korong Sebelum Pemekaran |
Wali Korong Sebelum pemekaran |
Nagari Setelah Pemekaran |
1. |
Padang Toboh |
Mardius |
Padang Toboh Ulakan |
2. | Sikabu | Drs.Akhirman | Sungai Gimba Ulakan |
3. | Sungai Gimba Ganting |
Deri Zamitra.SE |
|
4.
|
Lapau Kandang
|
Kardinal.S.Pd
|
Seulayat Ulakan
|
5.
|
Maransi
|
Muhammad Idris
|
|
6.
|
Kampung Ladang
|
Hendri Dunan.SH
|
|
7.
|
Tiram Ulakan
|
Ali Azwir.SE
|
|
8.
|
Ganting Tangah Padang
|
Alam Syahril
|
Ulakan
|
9.
|
Pasar Ulakan
|
M. Syawal
|
|
10.
|
Padang Pauh
|
Khizalil Efendi
|
|
11.
|
Kabun Bungo Pasang
|
Muslimat
|
|
12.
|
Kampung Koto
|
Sunardi.SH
|
|
13.
|
Kampung Gelapung
|
Romi Efendi
|
Kampung Gelapung Ulakan
|
14.
|
Binuang
|
Sadri Ali Doa
|
Sandi Ulakan
|
15.
|
Tanjung Medan
|
Muhammad Yunis
|
|
16.
|
Koto Panjang
|
Ilham
|
|
17.
|
Cubadak Palak Gadang
|
Alfen Zekky.ST
|
Manggopoh Palak Gadang Ulakan
|
18.
|
Manggopoh Dalam
|
Immnatul Khaira. S.Pd
|
|
19.
|
Manggopoh Ujung
|
Patriotman
|
|
Wali Nagari Ulakan adalah Drs.Nurdin B (2015-2021)
Ketua BAMUS Ulakan Akir Ali. S.Pd Serta Sekretaris Bamus Syamsul Bahri.SH (2014-2017)
|
Nagari Sungai Gimba Menurut Sejarah Sistim Pemerintahan Dan Undang-Undang Republik Indonesia
Dimasa awal-awal kemerdekaan atau masa Orde Lama dan sebahagian masa Orde Baru (1945-1979) Nagari Sungai Gimba belum menjadi sebuah pemerintahan terendah. Pada masa itu sudah ada nama “Sungai Gimba Panjang” yang merupakan Ulayat adat dari Rky. Rajo Mangkuto namun masih terdiri dari 3 korong yaitu Padang Toboh, Sikabu dan Ganting.
Terbitnya UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan tonggak awal secara hukum terbentuknya wilayah Nagari Sungai Gimba. Pada tahun 1982 resmi pemerintahan terendah berbentuk desa. Kepala Desa pertama dilantik pada tahun 1983 yaitu Taher M. Desa Sungai Gimba pun berdiri dengan defenitif yang terdiri dari 5 dusun yaitu:
Terjadi Reformasi di tahun 1998 dan runtuhnya rezim Orde Baru menumbuhkan semangat OItonomi Daerah, yang tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Berdasarkan undang-undang ini, daerah diberikan kebebasan mengelola daerahnya sendiri dan sistim sentralisasi menjadi desentralisasi. Sumatera Barat pun menyambut baik hal ini dengan menerbitkan Perda Provinsi Sumbar No.9 Tahun 2000 tentang pokok pokok Pemerintahan Nagari. Hal ini sangat didukung oleh Lembaga Adat Sumatera Barat (LKAAM Sumbar), karena kembali ke sistim Nagari Ninik Mamak Sumatera Barat berharap kembalinya eksistensi Adat di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
Dengan terbitnya Perda Provinsi Sumbar No.9 Tahun 2000 Tentang pokok-pokok Pemerintahan Nagari. Samboyan “Babaliak ka Nagari dan Babaliak ka Surau” digaungkan masyarakat Minangkabau. Sistim Pemerintahan Desa yang sebelumnya dipakai diganti menjadi Sistim Pemerintahan Nagari kembali. Desa Sungai Gimba pun kembali menjadi 2 korong yaitu Korong Sikabu dan Korong Sungai Gimba Ganting sedangkan pemerintahan terendah adalah Nagari Ulakan yang terdiri dari 19 korong.
Namun UU No.9 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah memiliki kekurangan, salah satunya memberi kebebasan sebesar-besarnya kepada daerah mengurus daerahnya, hal ini tentunya mengancam disintegrasi bangsa, Maka terbitlah Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Undang-undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa ini menjadi dasar hukum bagi seluruh Desa di Indonesia atau Nagari di Sumatera Barat dalam mengembangkan potensi Desa/Nagari. Didalam undang-undang ini termuat kewenangan Nagari/Desa mengurus rumah tangganya berdasarkan azas asal-usul dan kearifan lokal. Ditahun ini pula Dana Desa pertama bergulir, yaitu disamping ADN Nagari yang sudah ada sebelumnya ditambah dengan Dana Desa (DD). Seluruh Nagari atau Desa mendapat kucuran Dana dari Pemerintahan pusat berkisar 1 Miliar/Desa.
Hal ini bertahan sampai akhir tahun 2017 seiring terjadinya pemekaran 43 Nagari di Sumatera Barat. Salah satu dari 43 Nagari Pemekaran ini adalah Nagari Sungai Gimba Ulakan, sesuai dengan Perda Kab.Padang Pariaman No.1 Tahun 2013 tentang Pembentukan 43 Nagari di Lingkungan Kabupaten Padang Pariaman. Nagari Sungai Gimba Ulakan pun menjadi Nagari Defenitif yang terdiri dari 5 korong, yaitu:
Penjabat Wali Korong:
Ul Fadri : Tahun 2017-2018
Ali Noverman : Tahun 2018-sekarang
Penjabat Wali Korong:
Hendrizal : Tahun 2017-sekarang
Penjabat Wali Korong:
Joni : Tahun 2017-sekarang
Penjabat Wali Korong:
Surahman : Tahun 2017-sekarang
Penjabat Wali Korong:
Sarmadi : Tahun 2017-sekarang
Nagari Sungai Gimba dilaunching oleh Kabupaten Padang Pariaman pada tanggal 19 Oktober 2016 secara serentak 43 Nagari. Sebelum Wali Nagari Defenitif diawali dengan Penjabat Sementara Wali Nagari yang berasal dari unsur Pemerintahan Daerah Kabupaten Padang Pariaman. Dari awal diresmikan sudah 2 Penjabat Wali Nagari dan Satu Wali Nagari Defenitif di Nagari Sungai Gimba Ulakan, Yaitu:
1.Zainal Arif. S.Sos (Pj.Wali Nagari)
2. By Sahayar. (Pj. Wali Nagari)
3. Irman Tiardi. A.Md (Wali Nagari Defenitif)
Urusan Administratif Perkantoran dijabat oleh Sekretaris Nagari. Di awal mula pemerintahan Nagari Sungai Gimba Ulakan Sejak di Launching tahun 2016 s/d 2019. Sekretaris Nagari dalam menjalankan Administrasi Perkantoran dibantu oleh 4 kepala urusan yaitu Kaur Pemerintahan, Pembangunan, Kesra dan Kaur Umum dan Keuangan. Sesuai Perbup Padang Pariaman Nomor 18 tahun 2018 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Nagari, maka Administrasi Kantor Nagari Sekretaris Nagari dibantu oleh Kasi Pemerintahan, Kesra dan Pelayanan dan 2 orang Kepala Urusan yaitu Kaur Keuangan dan Kaur Umum dan Perencanaan. Struktur Oraganisasi Pemerintahan Nagari tersebut berdasarkan kategori Desa/Nagari Swakarya
Ramadanus Weri. S.Pd
Sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Padang Pariaman Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pembentukan 43 Nagari di Lingkungan Kabupaten Padang Pariaman, Ibukota Nagari Sungai Gimba Ulakan terletak di Korong Sungai Gimba Ganting Barat. Maka berdasarkan hal itu Pusat Pemerintahan dan Perkantoran terletak di Korong Sungai Gimba Ganting Barat.
Sejarah Panjang Nagari Sungai Gimba tidak bisa dilepaskan dari sejarah Perkembangan Islam dan Adat Sako Pusako Rky. Rajo Mangkuto. Sejarah asal usul Daerah Sungai Gimba ini tertulis dalam naskah kuno “Tambo Pandak Rky. Malakewi Tapakis". Didalam naskah “Tambo Pandak Rky. Malekewi Tapakis” dijelaskan Sejarah Ulayat “Rajo Nan Sapuluah” serta disebutkan bagaimana Awal Mula Islam dikenal dan berkembang didalam Daerah ”Luhak Lareh” atau daerah Ulakan, Tapakis dan Ketaping.
Hal ini berawal dari migrasi nya suku-suku atau kelompok-kelompok keluarga dari “Darek” atau Daerah Minangkabau Daratan atau kita kenal dengan Daerah Luhak Nan Tigo ke daerah Pesisir Pantai dalam rangka mencari Sumber Garam serta Pemukiman Baru. Sesuai dengan Petitih Minangkabau “Adaik Manurun”, Suku atau keluarga yang pertama kali mendiami daerah Sungai Gimba adalah suku Rky. Rajo Mangkuto, sehingga sebahagian besar daerah Sungai Gimba adalah “pusako” dari Rky. Rajo Mangkuto. Secara sako “gelar” dari Rky. Rajo Mangkuto selaku “Urang Tuo Adat Nan Baulayat”. Di daerah Sungai Gimba silih berganti dari mamak turun ke kamanakan yang memakai Adaik “Lareh Koto Piliang”. Berikut Pemegang Sako Rky. Rajo Mangkuto :
4. Harun Rky.Rajo Mangkuto (Alm).
(Foto Belum diarsipkan)
Adapun Rumah Gadang Kaum Rky. Rajo Mangkuto masih kokoh berdiri sampai saat ini dan terletak di “Palak Laweh” atau Korong Sikabu Mudiak sekarang. Dahulunya Rumah Gadang melambangkan kejayaan dan kemasyuran suatu kaum ditengah-tengah masyarakat.
Urang Tuo Adat Nan Baulayat merupakan pemegang tampuk adat di wilayah Ulayatnya yaitu keseluruhan wilayah Nagari Sungai Gimba Ulakan yang didiami beberapa Suku. masing-masing suku memiliki kepala suku atau "Datuak", yang merupakan pemimpin atas kaumnya. Setiap kepala suku memiliki tempat atau jabatan sebagai "Sayok Gadai" Rky. Rajo Mangkuto. Berikut suku-suku yang ada di Ulayat Rky. Rajo Mangkuto atau daerah Nagari Sungai Gimba Ulakan:
Sebelum masuknya Agama Islam ke Nagari Sungai Gimba, kata Sungai Gimba belum ada dipakai masyarakat, namun masyarakat menyebutnya dengan daerah “Batang Gasie”. Daerah Batang Gasie adalah daerah disekitar aliran Sungai Batang Gasie (Batang Gimba sekarang). daerah ini meliputi Korong Sikabu dan Korong Sungai Gimba Gantiang dan inilah yang menjadi daerah Nagari Sungai Gimba Ulakan sekarang. Kepercayaan Masyarakat Sungai Gimba sebelum masuknya Islam adalah Animisme Hindu. Masuknya Islam kedaerah Sungai Gimba tidak serta merta diterima begitu saja oleh masyarakat, sempat terjadi konflik antara masyarakat dengan saudagar-saudagar atau Ulama Timur Tengah yang ingin mengembangkan Agama Islam.
Asal usul nama “Sungai Gimba” tak terlepas dari seorang ulama dari Timur Tengah tepatnya dari Oman Hadramaut yang datang dan mendiami daerah Sungai Gimba dahulunya pada abad ke-16 Masehi. Ulama ini bernama Syekh Abdullah Arif atau masyarakat menyebutnya Syekh Madinah karena Syekh Abdullah Arif menyebut dirinya dengan “Madinah”. Saat itu Syekh Madinah mengembangkan agama secara sembunyi-sembunyi dan tertutup.
Kedatangan Syekh Madinah ini diawali dengan terdamparnya kapal beliau di Pesisir Pantai "Talao Busuak”(Daerah Tiram Tapakis sekarang). Beliau berjalan menyisir aliran Sungai “Batang Tapakih” sampai di daerah “Patamuan”(daerah Maransi Seulayat sekarang) beliau menemukan pertemuan 2 Anak Sungai, beliaupun menelusuri aliran Anak Sungai tersebut dan sampai di Daerah Aliran Sungainya yang berliku-liku (Aie Baliak Mudiak) dareah ini adalah “Ujuang Titih” (Korong Sungai Gimba Ganting Barat sekarang).
Menurut buku saku “Hikayat Syekh Madinah” tahun 2019 karangan MZ. Datuk Bungsu Rky Rajo Mangkuto, editor Ramadanus Weri, Deri Zamitra dan Elviza Suryadi. Di buku ini disebutkan bahwa Syekh Madinah menimbang bekal yang diberi gurunya berupa tanah dan air. Dimana tanah dan air ini sama berat dengan tanah dan air di suatu tempat maka disanalah beliau mensyiarkan Agama Islam. Atas kehendak Allah SWT maka timbangan itu sama berat di daerah “Ujuang titih” ini, maka disinilah beliau mendirikan “pondok” tempat tinggal sekaligus mensyiarkan Islam.
Syekh Madinah adalah guru pertama Syekh Burhanuddin mengenal Syariat Islam bersama beberapa muridnya. Syekh Madinah juga yang merekomendasikan Syekh Burhanuddin menimba ilmu kepada Syekh Abdul Rauf yang juga Mufti Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Sinkli (Red. Singkil). Syekh Madinah dan Syekh Abdul Rauf merupakan teman seperguruan di negeri asalnya yaitu Oman Hadramaut (Negara Oman Sekarang) yang bernama Syekh Ahmad Qusyasi. Di “Aie Baliak Mudiak” ini dilaksanakan Shalat Jumat pertama secara terbuka di Sumatera Barat, yang sebelumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh saudagar-saudagar dagang yang datang dari Timur Tengah. Untuk Khatib membacakan Khutbah Jumat maka Syekh Madinah membuat suatu Mimbar tempat berdirinya Khatib. Karena masyarakat Ulakan susah melafazkan huruf “R” maka masyarakat menyebut Mimbar ini disebut dengan sebutan “Gimba”. Mimbar atau “Gimba” ini terletak di Ujung Daratan Sungai yang berbelok-belok, masyarakat menamakan daerah sekitar ini dengan “Sungai Gimba” atau Sungai yang ada Gimbanya. Di waktu itu penamaan “Tapian Mandi” di Sungai dikaitkan dengan apa yang ada di sekitar Sungai tersebut. Seperti contoh “Sungai Duku” artinya tepian Sungai di dekat pohon Duku dan enamaan lainnya. (DZ)